Saat ini aku sedang duduk di satu sudut kotaku. Aku memandangi kerlip lampu kota yang berkas-berkas cahayanya diterabas secara lancang oleh bulir hujan kecil-kecil yang turun sejak pukul 5 sore tadi, romantis sekali. Keadaanku saat ini sedang sangat baik, beberapa kabar gembira menghampiriku beberapa waktu terakhir ini. Keberadaanku di salah satu sudut kota ini pun merupakan satu bentuk penghargaanku pada diriku sendiri atas beberapa kabar baik yang menghujamku.
Satu hal yang terlintas di pikiranku malam ini adalah pada akhirnya aku mampu berdamai dengan sudut kota ini. Ya, aku bisa kembali menikmati sudut kota ini dengan perasaan bahagiaku meski tanpamu dan tanpa orang lain disisiku. Pada akhirnya, dalam sendiriku, akupun bisa bahagia.
Tidak mudah untukku dapat berbahagia kembali seperti ini, aku harus berjuang menganggap aku dan kamu adalah sebuah kenangan yang biasa saja bagiku. Oh iya, satu hal yang ingin aku sampaikan padamu, aku tidak pernah berusaha melupakan setiap detik waktu yang pernah kita lalui, karena itu mustahil apalagi untuk seseorang seperti aku –yang kamu bilang memiliki Photograpic Memory. Ya, yang aku bisa hanya mencoba mengganggap kenangan kita sebagai satu hal yang biasa saja.
Selama berbulan-bulan aku berusaha mendoktrin hatiku, mencamkan bahwa pada kenyataannya apa yang kita lalui tidak pernah bisa disebut sebagai cinta. Lebih tepatnya begini, hanya aku yang mencintaimu sedang kamu tidak. Aku berusaha menanamkan itu pada hatiku, sakit memang, tapi mau bagaimana lagi, aku ingin hatiku baik-baik saja kedepannya, jadi aku memutuskan untuk menyiramkan obat luka ke hatiku.
Aku mencoba berpikir menggunakan logikaku –yang aku harap masih bisa diandalkan- untuk menyembuhkan hatiku. Iya, kamu benar, aku bermain dengan logikaku agar hatiku beristirahat sejenak menyembuhkan lukanya.
Dengan logikaku aku mencoba menyimpulkan.
Selama aku berada di sampingmu, ternyata tanpa aku tahu kamu juga bisa bersama dengan perempuanmu yang telah lalu. Aku berkesimpulan bahwa berarti, tidak ada cinta yang mampu menghalangimu berbuat hal yang bisa menyakitkanku. Aku tidak menyalahkanmu, aku hanya lebih tertarik untuk menertawakan diriku sendiri, ternyata selama ini aku begitu polos.
Ini juga, bagaimana mungkin bisa aku menyebutnya cinta, jika saat aku bersamaku kamu terdiam tak menanggapiku, seakan-akan aku ini hanya benda kecil bernama radio yang bisa kamu nyalakan tanpa sedikitpun rasa bersalah saat kamu tak mendengarkan sama sekali. Aku lagi-lagi tidak menyalahkanmu, bisa jadi aku yang memang terlalu membosankan, atau mungkin memang hati dan pikirmu sedang tidak bersamaku.
Aku jatuh cinta sendirian, sedikit saja kamu tersenyum aku sudah terbang entah tembus langit keberapa. Sedangkan kamu, saat aku sudah menghabiskan separuh tenaga bahkan separuh hatiku kamu masih tetap saja terdiam seperti menganggapku tidak pernah ada, meski pada kenyataannya aku masih setia menemanimu duduk menikmati senja dan kerlip lampu di kota ini.
Ah, tapi itu dulu, tak adil jika aku terus mengungkit ini disaat aku sedang memberi penghargaan pada diriku sendiri. Lagipula, kamu disana pasti juga sudah lupa tentang aku. Bisa jadi, saat ini kamu sedang menikmati senja di kotamu bersama perempuanmu yang baru, menyeruput kopi dari cangkir kalian masing-masing dan sesekali saling memuji.
Sekarang kita sudah menempuh jalan masing-masing. Aku tidak tahu pasti bagaimana keadaanmu saat ini, dan akupun tidak berusaha mencari tahu, yang terpenting bagiku saat ini adalah aku bisa berbahagia kembali tanpamu. Aku bisa kembali merasakan romantisnya bulir hujan kecil-kecil yang menerabas berkas cahaya lampu kota, yang dulu sering aku nikmati bersamamu, dan mendadak aku benci saat kamu pergi.
mantap.. lg galau kah mbak???
ReplyDeleteHaha enggak ko, ini siapa? :))
ReplyDelete