Saturday, May 26, 2012

Untuk Bersamamu Seperti Ini Saja akan Menjadi Hal yang Sangat Sulit Nanti


Malam itu, kita tertawa. Ya kita tertawa lepas, saling melempar guyonan yang membuatku semakin tak ingin mengakhiri kebersamaan kita. Aku menyanyikan lagu kesukaanku dan kamu mendengarkan, aku bercerita panjang lebar dan kamu pun mendengarkan, entah kamu bosan atau tidak mendengar ocehanku. Sesekali kamu membuatku cemberut, lalu kamu akan tertawa lepas saat melihat wajahku manyun. Aku kembali bercerita sambil menyandarkan kepalaku di lenganmu, dan kamu mendengarkan (lagi). ‘nyaman sekali bersandar di lenganmu, jangan bosan mendengarkan celotehku yaa ….’

Kamu, pintar sekali memilih tempat untuk berbincang malam itu. Aku suka sekali tempat itu, aku suka karena dari tempat itu aku dan kamu bisa melihat jutaan kerlip lampu yang indah, aku juga bisa melihat kerlipan lampu pesawat yang melintas, bahkan jika malam itu sedang hujan meteor pun aku yakin kita bisa melihatnya dengan jelas. ‘Bagus ya lampu-lampu itu’ kataku sambil mengarahkan telunjukku pada lampu-lampu itu ‘ apanya yang bagus?’ katamu. Entahlah mungkin kebetulan saja kamu memilih tempat itu, hingga bisa sesuai dengan apa yang aku suka. Tapi yang jelas membuatku bahagia malam itu adalah bukan seberapa indahnya tempat itu atau seberapa banyak kerlip lampu yang bisa kita saksikan, namun disisimu, ya berada disisimu itu sungguh membuatku bahagia.
Begitu banyak hal yang kita bagi malam itu. Salah satunya tentang ramalan jodohku waktu SMA, sungguh konyol sekali, menurut ramalan (yang tentu saja aku tak mempercayainya waktu itu) inisial jodohku sama dengan inisial namamu. ‘jangan geer kamu’ katamu, haha aku hanya bisa tertawa saat itu ‘hey tentu saja aku berharap itu adalah kamu’.

Sudah lewat jam 9 malam, aku merengek mengajakmu pulang, tapi kamu tak mengabulkan.

Lagi, aku bercerita kali ini tentang tingkah salah seorang temanku yang sungguh menjengkelkan, kali ini kamu tak menanggapi kamu hanya menguap,entahlah mungkin membosankan. Berikutnya aku berceloteh tentang bagaimana jika nama spesies mangrove dalam penelitianmu, Avicennia marina aku gunakan untuk nama anakku kelak, engkau hanya tersenyum. ‘Kamu tau? Aku berharap kamu lah yang akan menjadi ayah dari anak itu’

Entah, sudah berapa kali aku merengek mengajak pulang, dan kamu tak mengabulkannya (lagi).

Kamu bilang, biasanya dua orang yang berjodoh, ukuran kelingking sang laki-laki sama dengan ukuran jari manis perempuannya, dan teori inilah yang sering digunakan untuk mengukur cincin pernikahan. Aku reflek mengulurkan jari manisku. ‘ Apa?’ katamu, kutarik kembali jari manisku sambil memasang muka manyun, kamu tertawa lepas, lalu mengulurkan kelingkingmu tapi aku menyembunyikan jari manisku dibelakang punggungku. ‘tau tidak? Aku takut jika jari manisku tak sama dengan kelingkingmu, dan kalaupun ukuran jari manisku sama dengan kelingkingmu aku takut aku akan semakin beharap lebih padamu’

Ketika mulai membicarakan tentang kelulusanmu, kamu lebih banyak diam dan tak menanggapi dengan ekspresi apapun. Entahlah, diammu itu pertanda apa, tapi sepertinya bukan karena kita tak akan bertemu lagi. ‘Nanti kalau kamu lulus ga akan ada lagi yang nyubitin kamu,yang ribut, yang manyun dan yang menyebalkan sepertiku’,kamu diam tak menanggapi akupun ikut diam. Kamu merebut netbookku lalu tertawa melihat hasil kerjaku, lagi-lagi aku manyun dan tawamu semakin lepas. Kamu mengusap-usap kepalaku hingga jilbabku berantakan, lalu beranjak menuju motormu, ‘ayuk pulang’. Aku berharap bisa terus melihat tawa lepasmu itu, ya terus dan selalu dalam setiap hari yang aku lalui. Tapi aku tersadar untuk bersamamu seperti ini saja akan menjadi hal yang sangat sulit nanti setelah kelulusanmu.

No comments:

Post a Comment